Friday, March 26, 2010

Mendekati Tuhan dengan Cinta

Rabu, 17 Maret 2010 13:12:21

Oleh: Komaruddin Hidayat*
eborg3.com
http://www.esqmagazine.com/

Ada sebuah canda filsafat. Andaikan seekor kuda bisa menggambar Tuhan, maka Tuhan akan digambarkan bagaikan kuda. Dalam dunia pendidikan, canda ini dipahami bahwa setiap anak ketika mempelajari dan membayangkan suatu obyek yang baru, pasti akan dipengaruhi oleh endapan dari pengalaman hidupnya. Karenanya seorang guru tidak boleh menganggap anak bagaikan gelas kosong atau kertas putih. Mereka datang ke ruang kelas dengan persepsi dan endapan memori yang berbeda-beda.

Hal serupa sesungguhnya juga terjadi pada diri manusia ketika membicarakan tentang Tuhan. Peng­alaman masa lalunya, buku-buku yang di­ba­ca­nya, dan guru-guru yang mengajarinya, kesemuanya itu akan mempengaruhi paham keagamaannya. Tidak aneh jika terdapat pendekatan yang berbeda tentang ketuhanan di kalangan ulama ahli fiqih, ilmuwan, teolog, sufi, dan seterusnya. Semua pendekatan ini benar sepanjang mendasarkan pada Al-Qur’an dan niat yang tulus untuk mendekatkan diri pada-Nya. Mengingat Allah memiliki Asmaul Husna, maka setiap nama bisa dibahas panjang lebar, dan masing-masing nama merupakan pintu masuk menuju Allah.

Orang yang merasa banyak dosa, senang memanggil: Ya Allah ya Ghafur. Yang lagi memohon limpahan rezeki, mengulang-ulang nama ya Allah, ya Karim, ya Ghany, ya Razzaq. Itu semua menunjukkan bahwa suasana batin keberagamaan seseorang tidak selalu sama, sehingga sapaannya pada Tuhan juga berbeda aksentuasinya. Begitupun perbedaan kadar ilmu dan pengalaman hidup akan mempengaruhi pemahaman dan keyakinan kita tentang Tuhan, sekalipun yang diseru adalah Tuhan yang sama, Allah azza wa jalla.

Dalam pembahasan ahli hukum, Tuhan lebih ditonjolkan sebagai Sang Hakim yang akan menetapkan keputusan salah dan benar, sebagai pertimbangan adakah seseorang pantas sebagai penghuni surga ataukah neraka. Bagi mereka yang sibuk mempelajari teologi dan filsafat, maka persepsi dan tema dominan tentang Tuhan adalah Sang Pencipta dan Wujud Absolut yang merupakan sumber dan penyebab dari semua yang ada di alam semesta agar manusia bertauhid dan sujud pada-Nya. Jadi, subyektivitas seseorang selalu mempengaruhi dalam memandang sesuatu dan membuat keputusan. Ibarat orang yang ta­ngannya memegang palu maka akan sangat peka terhadap paku, bahkan benda-benda lain pun hendak diketoknya.

Bagi kalangan sufi mereka lebih senang menatap Tuhan sebagai Yang Maha Kasih. Cinta merupakan tema dan jalan pendekatan pada Tuhan yang paling disenangi. Banyak puisi yang menggelorakan cintanya pada Tuhan, yang tentu saja sebagian puisi-puisinya akan dianggap menyimpang dan sesat dalam perspektif ahli fiqih. Makanya dalam sejarah pemikiran Islam selalu muncul konflik dan ketegangan antara ulama fiqih dan ulama sufi. Yang pertama berpegang pada bahasa dan formula hukum yang jelas dan lugas rumusannya, sedangkan yang kedua menggunakan bahasa rasa dan simbol-simbol.

Alkisah, terdapat seorang pemuda yang datang mau berguru kepada seorang guru tarekat, mau belajar bagaimana mengenal, mendekat, dan mencintai Tuhan sehingga mengalahkan cintanya pada dunia. Tentu saja sang guru menyambut gembira kedatangannya. Setelah mendengarkan maksud kedatangannya, sang guru bertanya: “Pernahkah Anda merasakan jatuh cinta pada seorang perempuan?” Pemuda menjawab, “Belum.” Sang guru pun menganjurkan agar ia pulang dulu ke kampungnya dan mempersilakan datang lagi setelah pernah mengalami jatuh cinta kepada lawan jenis.

Kisah sufi ini menjelaskan, berbagai pesan Al-Qurán untuk mencintai Tuhan, akan sulit dimengerti kecuali oleh mereka yang pernah merasakan jatuh cinta. Tentu saja cinta pada Tuhan dan cinta pada lawan jenis berbeda. Namun dengan bekal pengalaman bagaimana rasanya mabuk rindu terhadap orang yang dicintai akan sangat membantu memahami ajaran tasawuf tentang cinta. Rasa cinta dan rindu merupakan dua perasaan yang saling terkait, dan tak mungkin dipisahkan. Siapapun yang belum pernah meng­alami jatuh cinta dan belum pernah merasakan derita dirundung rindu akan sulit baginya untuk memahami, merasakan, dan mengungkapkan kata “cinta” dan “rindu” ketika nantinya guru sufi berulang kali mengucapkan dua kata itu.

Jadi, salah satu problem yang muncul dalam memahami ungkapan kitab suci dan konsep cinta dalam ajaran tasawuf adalah berkaitan dengan keterbatasan bahasa dan suasana batin manusia. Pengalaman dan penjelasan tentang jatuh cinta adalah dua hal yang berbeda. Ketika pengalaman seorang sufi tentang mabuk cintanya pada Tuhan diterangkan dan diteorikan, maka sesungguhnya pembicaraannya sudah beralih menjadi filsafat (cinta), karena sebuah pengalaman yang bertumpu pada rasa tidak akan sanggup dijelaskan dengan kata-kata, sebagaimana rasanya gula hanya bisa dicoba dan dirasakan secara langsung, bukannya diuraikan.

Drama konflik cinta yang mendua, antara cinta pada Tuhan dan cinta pada dunia, dipertunjukkan Allah kepada kita secara sangat spektakuler lewat kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bayangkan, Nabi Ibrahim diperintahkan Allah menyembelih putra kesayangannya, Ismail, yang sudah puluhan tahun ia memohon pada Tuhan untuk dikaruniai anak. Drama ini lalu diabadikan dalam ritus haji, namun mungkin saja spirit dan maknanya terabaikan.

Lewat drama hidup Nabi Ibrahim dan keluarganya, kita diberi pelajaran bagaimana mencintai Allah dengan segala pengurbanannya. Bayangkan, setelah Ismail lahir, Allah menguji lagi pada Ibrahim untuk pergi meninggalkan Hajar dan Ismail, keduanya tinggal di padang tandus yang sekarang dikenal sebagai Kota Mekkah. Sungguh perjuangan yang amat berat Ibrahim harus menaklukkan egonya, dia harus tega meninggalkan istri dan anak kesayangannya di padang tandus.

Subhanallah, Allahu Akbar... Hati selalu tergetar dan tidak sanggup melukiskan dengan kata-kata setiap mengenang rangkaian ujian iman yang ditimpakan kepada Nabi Ibrahim, sejak dibakar oleh Raja Namrud sampai diperintah menyembelih anak sendiri. Coba bayangkan, bagaimana alur emosi dan dialog antara seorang ayah, istri, dan anak ketika ketiganya memutuskan untuk menyembelih satu-satunya anak yang menjadi ikatan batin suami istri dan simbol kebahagiaan serta kekayaan sebuah keluarga.

Di Indonesia kini, demi membahagiakan dan memanjakan anak, seorang ayah bahkan mau melawan hukum Tuhan dengan jalan korupsi dan tindakan apa saja, saking cintanya pada anak. Kalau dia kebetulan seorang pejabat tinggi negara, tidak segan-segan uang negara digasak. Anak adalah representasi ego, kekayaan, penerus keluarga, sandaran di hari tua, penghibur orangtua, dan senantiasa menjadi pertimbangan orangtua mengambil keputusan hidup.

Lewat drama Ibrahim, Hajar dan Ismail, Allah mengajarkan pada umat yang beriman, bagaimana menempatkan cinta pada Tuhan di atas segala-galanya. Semoga teman-teman kita yang rajin berhaji dan umrah ketika pulang membawa “makam Ibrahim” di dada, yaitu prestasi spiritual dan iman untuk mencintai Allah di atas segala-galanya.

* Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Alumni ESQ Eksekutif Angkatan 20. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Nebula (eks. ESQ Magazine) edisi cetak No. 14/Tahun II/2006